Tambrauw – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat ini tengah menangani kasus dugaan korupsi kuota haji 2023–2024 yang menyeret eks Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas.
Kasus ini mencuat setelah ditemukan ketidaksesuaian dalam pembagian kuota haji tambahan sebanyak 20.000 jemaah, yang diduga menyimpang dari aturan UU Nomor 8 Tahun 2019.
Seharusnya, proporsi kuota haji ditetapkan 92% untuk reguler dan 8% untuk khusus, tetapi pembagian justru dilakukan secara merata.
KPK telah menaikkan penanganan perkara ini ke tahap penyidikan, termasuk memeriksa Yaqut pada 7 Agustus 2025.
Dokumen penting seperti Surat Keputusan (SK) penerbitan kuota haji juga menjadi barang bukti kunci penyidikan.
Selain itu, KPK telah menyita ponsel dan dokumen dari rumah eks Menag sebagai bagian dari penyelidikan awal.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dilibatkan untuk menghitung potensi kerugian negara, yang menurut perhitungan awal sudah mencapai lebih dari Rp1 triliun.

Baca Juga : Pendiri ChatGPT Mengaku Tak Pernah Lagi Pakai Google
KPK juga telah mencekal Yaqut ke luar negeri—langkah ini diambil agar yang bersangkutan tetap berada di Indonesia selama proses penyidikan berlangsung.
Selain Yaqut, eks staf khusus dan pihak swasta seperti pemilik travel Maktour juga dicekal dan diperiksa.
DPR RI melalui Pansus Angket Haji sebelumnya juga menyoroti adanya indikasi penyimpangan dalam kuota, mendasari KPK melanjutkan penyidikan.
Dalam konferensi pers, Plt. Deputi Penindakan KPK Asep Guntur Rahayu menegaskan bahwa pembagian kuota ini jauh menyimpang dari niat awal Presiden yang ingin memperpendek antrean reguler.
Dari laporan-laporan masyarakat, ditemukan adanya praktik ‘biaya komitmen’ dari agen travel untuk mendapatkan kuota khusus, mencapai USD2.600–7.000 per jemaah.
Temuan-temuan tersebut menambah dugaan adanya sistem jual-beli kuota yang merugikan negara dan jemaah
Lebih lanjut, KPK tengah menyelidiki apakah kuota tambahan digunakan sebagai ladang keuntungan pribadi atau korporasi.
Permintaan ini dilandasi keinginan agar proses hukum berjalan objektif dan fokus pada dampak finansial, bukan semata politis.
Menurut mereka, penghitungan kerugian negara adalah instrumen objektif menyelesaikan perdebatan publik dan hukum.
Kuasa hukum juga menyampaikan bahwa jika hitung kerugian menunjukkan penyimpangan minimal—konteksnya bisa berbeda—maka pertimbangan hukum bisa diprioritaskan profesional, hindari stigma politik.
Namun, publik juga menyuarakan harapan agar hasil penyidikan transparan—termasuk jumlah pasti kerugian negara dan pihak yang diuntungkan.
















