Tambrauw – Kisah Pasutri Penjual Sepasang suami istri penjual sayur ini tidak menyangka, langkah sederhana menagih utang bisa berujung jeruji besi. Berniat menagih hak, tapi malah dilaporkan dan kini duduk di kursi pesakitan sebagai terdakwa, terancam hukuman 9 bulan penjara.
Sebuah kisah nyata yang membuat banyak orang bertanya-tanya:
Masihkah hukum berpihak pada rakyat kecil?
Awalnya Hanya Utang Piutang Biasa
Pasangan suami istri tersebut, Wagiman dan Suryani (nama disamarkan demi privasi), sehari-hari menjajakan sayur keliling di sebuah desa di Jawa Tengah. Seorang tetangga mereka pernah meminjam uang sejumlah Rp 1,3 juta untuk keperluan keluarga. Karena percaya dan bertetangga, utang itu diberikan tanpa perjanjian tertulis.
Tapi bulan demi bulan berlalu, utang tak kunjung dibayar. Pasutri itu pun menagih dengan sopan, dari lisan hingga pesan WhatsApp.
Balasan Tak Terduga: Laporan Polisi
Namun, bukan pembayaran yang datang, melainkan laporan ke polisi. Sang pengutang menuduh pasutri tersebut telah melakukan pencemaran nama baik dan perbuatan tidak menyenangkan, hanya karena menagih melalui pesan teks yang dinilai “mengganggu”.
Tak lama, polisi memanggil dan menetapkan keduanya sebagai tersangka.
Tuntutan Jaksa: 9 Bulan Penjara
Jaksa penuntut umum kemudian menuntut mereka dengan hukuman 9 bulan penjara, membuat publik terhenyak. Apakah menagih hak sendiri kini bisa dianggap kejahatan?
Banyak pihak menyebut ini contoh kriminalisasi rakyat kecil, terutama karena konteksnya adalah tagihan utang tanpa kekerasan, tanpa intimidasi, dan hanya lewat pesan biasa.
Pakar Hukum Angkat Bicara: Ada yang Salah
Pakar hukum pidana menilai kasus ini sebagai kekeliruan dalam penerapan pasal.
“Undang-undang ITE dan pasal pencemaran nama baik memang sering disalahgunakan untuk membungkam orang yang menuntut haknya,” ujar salah satu dosen hukum pidana dari Yogyakarta.
Dalam sistem hukum yang ideal, niat menagih utang tidak seharusnya berubah menjadi delik pidana—terlebih jika tidak disertai ancaman atau kekerasan.
Dukungan Publik Mengalir Deras

Baca Juga : Purbaya Sebut Sekarang Kesempatan Bagus Punya Rumah
Kasus ini viral di media sosial. Banyak netizen menyuarakan keprihatinan dengan tagar #BebaskanPenjualSayur. Beberapa organisasi bantuan hukum juga menyatakan siap mendampingi dan mengajukan upaya hukum balik terhadap pelapor jika diperlukan.
“Jika rakyat kecil menagih utang bisa dipenjara, lalu siapa yang akan berani bicara soal keadilan?” tulis salah satu warganet.
Penutup: Di Mana Hati Nurani, Saat Hukum Kaku Tak Mengenal Nurani?
Wagiman dan Suryani mungkin hanya dua dari ribuan rakyat kecil yang mencari nafkah dengan jujur. Tapi kisah mereka mencerminkan ketimpangan yang nyata: ketika mereka yang menagih haknya justru dituduh bersalah, dan hukum seolah tajam ke bawah, tumpul ke atas.
Perjalanan mereka belum selesai. Tapi satu hal jelas:
Keadilan seharusnya tidak hanya untuk mereka yang punya kuasa — tapi juga untuk mereka yang hanya punya keberanian untuk berkata, “Saya cuma mau hak saya kembali.”
















