Tambrauw – Rumah pejabat diserbu dan dilucuti, kediaman Menkeu Sri Mulyani di Bintaro dijarah dua kali yang berada di kawasan elit Bintaro Sektor 3 awalnya berdiri tenang dan mewah, dikelilingi pepohonan rindang dan pagar tinggi, mencerminkan status pemiliknya sebagai pejabat negara.![]()
Baca Juga: Apa penyebab meledaknya aksi protes di Indonesia dan dampaknya bagi Presiden Prabowo?
Namun pada malam 30 Agustus, ketenangan itu berubah menjadi kekacauan saat ratusan orang memenuhi kediaman tersebut tanpa peringatan.
Massa datang seperti arus gelap—diam-diam, cepat, dan merusak—membawa berbagai alat untuk mencongkel pintu, menghancurkan kaca, dan mengangkut barang.
Pintu gerbang besar rumah yang sebelumnya kokoh berhasil dijebol, membiarkan massa masuk dan merangsek ke dalam rumah utama.
Interior rumah yang elegan itu segera berubah menjadi ladang jarahan, dengan sofa terbalik, lemari dijungkirbalikkan, dan rak buku kosong melompong.
Barang-barang mewah seperti TV layar lebar, lukisan mahal, dan bahkan figur berdiri Lionel Messi serta Mbappé ikut dibawa kabur oleh penjarah.
Suara kaca pecah dan menggambarkan samar dari warga yang menyaksikan kejadian menambah suasana mencekam di kompleks yang biasanya tenang itu.
Kediaman Sri Mulyani dijarah dalam dua gelombang serangan; yang pertama sekitar tengah malam, dan yang kedua menjelang subuh, lebih masif dan destruktif.
Gelombang kedua yang melibatkan jumlah massa yang lebih besar, hampir seribu orang menurut saksi mata, membuat kekacauan semakin tak terkendali.
Pelaku datang dari luar kawasan Bintaro, sebagian besar pemuda berusia belasan hingga awal 20-an, dengan motor dan membawa tas besar.
Beberapa dari mereka bahkan terdengar berteriak “buat emak gue”, seolah memberi justifikasi atas tindakan kriminal yang mereka lakukan.
Massa yang masuk ke rumah tersebut sepertinya tidak mengenal rasa takut, berjalan masuk seolah berada di pasar bebas rampasan.
Petugas keamanan perumahan yang jumlahnya hanya segelintir, tak mampu berbuat banyak menghadapi lautan manusia yang datang.
Warga sekitar hanya bisa menyaksikan dari balik tirai jendela, takut diserang jika mencoba menghentikan atau merekam kejadian.
Aroma asap dari kembang api yang dijadikan sinyal penyerbuan masih tercium beberapa menit setelah gelombang pertama penjarah bubar.
Rumah Sri Mulyani, yang saat itu kosong, menjadi sasaran empuk bagi massa yang sudah tahu bertahan apa yang mereka incar.
Tak hanya benda-benda mewah, alat makan, baju, selimut, hingga kasur ikut diangkut tanpa memandang bulu.
Halaman rumah dipenuhi jejak kaki, sisa-sisa barang, dan plastik kosong — bukti nyata bahwa rumah itu telah habis habis-habisan.
Kejadian ini bukanlah penjarahan biasa, melainkan terorganisir dengan pola pergerakan yang jelas dan sistematis.
Beberapa pelaku bahkan membawa kendaraan roda empat untuk mengangkut barang lebih banyak dari rumah tersebut.
Drone yang diduga digunakan untuk mengawasi situasi sekitar juga terlihat oleh warga sebelum gelombang kedua penyerangan.
Setelah semuanya selesai, rumah tersebut tampak seperti baru dilanda bencana alam: kaca pecah di mana-mana, perabot rusak, dan lantai penuh serpihan.
Keesokan harinya, rumah langsung dijaga oleh aparat TNI bersenjata lengkap untuk menghindari kejadian serupa terulang.
Foto-foto pasca-kejadian menunjukkan kerusakan parah dan kehancuran total di hampir seluruh bagian rumah.
Tak satu pun pelaku yang tertangkap saat kejadian, menimbulkan pertanyaan besar tentang respon dan kesiapan aparat keamanan.
Penjarahan rumah Sri Mulyani menjadi simbol kegagalan negara dalam melindungi pejabatnya dari amuk massa yang kehilangan kendali.
Warga Bintaro menyebut kejadian ini sebagai malam yang tergelap dalam sejarah kawasan tersebut, karena belum pernah ada kejadian serupa sebelumnya.
Sebagian besar warga juga menyuarakan kekhawatiran bahwa penjarahan ini bisa menjadi pemicu gelombang kekerasan baru di berbagai daerah.
Sri Mulyani sendiri dalam kondisi aman karena tidak berada di lokasi saat kejadian, namun trauma sosial jelas akan membekas.
Kini, rumah tersebut menjadi simbol keretakan antara rakyat dan pemerintah, sebuah pengingat nyata bahwa kemarahan yang tidak diarahkan dapat menghancurkan apa pun.








