Tambrauw– Terdakwa Pemalsuan Dokumen Ruang sidang Pengadilan Negeri Gresik mendadak hening saat terdakwa kasus pemalsuan dokumen mengucapkan kalimat yang mengguncang nurani:
“Saya sendiri yang melaporkan ayah saya ke polisi.”
Kalimat itu tidak hanya mengejutkan jaksa dan hakim, tapi juga menciptakan ironi paling getir dalam dunia hukum: seorang anak menggugat ayah kandungnya sendiri.
Kasus ini tak hanya soal hukum dan pasal-pasal pemalsuan dokumen, tetapi juga membuka kisah kelam relasi keluarga yang hancur di balik lembaran surat tanah.
Awal Mula Konflik: Warisan dan Tanda Tangan Palsu

Baca Juga : Terduga Pencuri Tewas Usai Ditangkap, Keluarga Geruduk Mapolres
Terdakwa, seorang pria paruh baya, didakwa memalsukan dokumen tanah milik keluarga. Dalam persidangan, jaksa menyebut bahwa terdakwa mengubah nama kepemilikan sertifikat tanpa sepengetahuan pemilik sah—yang tak lain adalah ayahnya sendiri.
Namun yang lebih mengejutkan, saat jaksa bertanya mengapa kasus ini bisa sampai ke pengadilan, terdakwa menjawab jujur:
“Saya kecewa karena ayah tidak mau mengakui hak saya. Saya terpaksa laporkan, karena sudah tidak ada cara lain.”
Ternyata, terdakwa awalnya ingin agar namanya dicantumkan dalam pembagian warisan. Ia merasa berhak atas sebidang tanah yang telah ia rawat selama bertahun-tahun. Tapi karena sang ayah menolak, ia nekat mengambil jalur pemalsuan agar tetap bisa menguasai tanah tersebut—dengan membuat dokumen palsu dan mengurus balik nama secara diam-diam.
Namun konflik tak berhenti di sana. Setelah aksinya terendus, terdakwa justru melaporkan ayah kandungnya sendiri ke polisi dengan tuduhan penggelapan.
Hukum vs Hati Nurani
Kasus ini jadi perbincangan hangat warga Gresik. Banyak yang bertanya-tanya: bagaimana mungkin seorang anak bisa menempuh jalan sejauh itu? Benarkah hanya karena persoalan warisan, hubungan darah bisa diputus?
Pakar hukum menyebut bahwa hukum memang tak memandang relasi keluarga dalam proses pidana, namun secara sosial dan budaya, langkah ini jelas meninggalkan luka dalam. Terlebih dalam masyarakat Jawa yang menjunjung tinggi rasa hormat pada orang tua.
“Ini bukan hanya konflik keluarga biasa, ini luka batin yang belum sembuh dan meledak dalam bentuk hukum,” ujar seorang pengamat sosial lokal.
Sang Ayah Menangis di Persidangan
Dalam persidangan sebelumnya, sang ayah—yang telah uzur—menghadiri sidang dengan mata sembab. Ia tak banyak bicara. Hanya menunduk ketika anak kandungnya berdiri sebagai terdakwa. Tidak ada sumpah serapah. Tidak ada teriakan emosi. Hanya keheningan panjang yang terasa lebih tajam dari vonis apa pun.
Hakim menunda putusan, memberi waktu bagi kedua pihak untuk mempertimbangkan mediasi. Namun sejauh ini, belum ada tanda-tanda perdamaian.
Penutup: Ketika Surat Lebih Tajam dari Pedang
Kasus ini menyentuh lebih dari sekadar hukum. Ia menyentuh soal nilai, hati, dan makna keluarga. Betapa harta—sekecil apa pun—bisa membelah darah daging. Betapa keadilan yang dicari lewat jalan hukum kadang justru meninggalkan lebih banyak luka dari yang bisa disembuhkan.
Entah bagaimana akhir dari kasus ini. Tapi satu hal pasti: tak semua pertarungan di ruang sidang berakhir dengan kemenangan. Kadang, semua pihak justru pulang dengan kekalahan—di hati mereka masing-masing.
















